Alergi merupakan salah satu penyakit yang diturunkan secara genetis. Angka kejadian alergi pada anak di Indonesia belum banyak diteliti, meskipun diyakini angkanya menunjukkan peningkatan.
Profesor Sibylle Koletzko, Kepala Divisi Paediatric, Gastroenterology and Hepatology di Dr. v. Haunersches Kinderspital di Ludwig Maximilians University of Munich, Jerman mengatakan prevalensi alergi secara umum berkisar kurang dari 10%, tetapi saat ini prevalensi alergi berkisar antara 20% – 30% atau meningkat sebanyak 3 kali lipat.
“Dari faktor genetik, anak yang lahir dari orangtua yang memiliki alergi juga berisiko terkena alergi dengan frekuensi risiko mencapai 20% – 85%,” ujarnya saat menjadi pembicara temu ilmiah “Pencegahan Alergi dengan Intervensi Gizi” yang diselenggarakan NestlĂ© Nutrition Institute (NNI).
Pada kesempatan tersebut Koletzko mengungkapkan melonjaknya kasus alergi pada anak di Indonesia, selain disebabkan oleh faktor genetik, juga dipengaruhi faktor lingkungan dan gaya hidup orang tuanya. Asupan gizi yang sesuai sejak dini sangat penting untuk mendukung dan mengembangkan system kekebalan alami sehingga mampu mengurangi risiko alergi.
Penyakit alergi sangat erat dengan daya tahan tubuh anak. Pada usia dini, tanda-tanda reaksi alergi biasanya adalah kelainan kulit (seperti ruam merah) dan gangguan saluran cerna (muntah dan lainnya). Dengan bertambahnya usia, reaksi alergi utama adalah pada sistem pernapasan seperti asma serta rhinitis.
Koletzko menyebutkan bahan yang dapat mencetuskan alergi sangat bervariasi, seperti makanan, debu, bulu hewan, serbuk sari, kutu tungau (house-dust mites) dan lainnya.
“Untuk Indonesia, lima besar makanan pencetus alergi pada anak adalah kelompok kepiting dan udang, kacang, makanan laut, telur serta susu sapi,” terangnya.
Faktor penyebab meningkatnya alergi belum dapat dijelaskan dengan pasti saat ini. Meski demikian, beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik, pola makan, gaya hidup, dan asap rokok selama kehamilan juga dapat meningkatkan risiko terjadi alergi pada anak.
“ASI adalah makanan terbaik untuk bayi. ASI mendorong perkembangan bakteri usus yang sehat, mengurangi risiko infeksi pernafasan atau pencernaan dan bermanfaat untuk membangun sistem kekebalan tubuh bayi dan promosi toleransi oral,” ujarnya.
“Setelah ASI eksklusif pada enam bulan pertama, makanan pendamping ASI sebaiknya dikenalkan secara perlahan sementara ibu tetap melanjutkan pemberian ASI,” lanjut Koletzko.
Menurut ilmu pengetahuan terbaru, variasi sumber makanan yang berbeda dalam jumlah besar dapat diberikan pada setengah tahun kedua termasuk makanan yang dapat menimbulkan alergi seperti telur dan ikan setelah 6 bulan pertama kehidupan dengan tujuan membentuk toleransi.
Pengenalan makanan yang ditunda di kemudian hari tidak menunda terkena risiko alergi, dan karenanya hal ini tidak direkomendasikan lagi. Jika menyusui tidak memungkinkan pada bayi dengan risiko alergi karena indikasi medis, direkomendasikan untuk memberikan formula hidrolisa parsial dengan 100% protein whey yang telah terbukti menurunkan risiko alergi.
Koletzko merujuk pada penelitian German Infant Nutritional Intervention (GINI) yang secara luas dikenal karena sifatnya yang netral. Didukung oleh pemerintah Jerman, studi GINI melibatkan 2.252 bayi dan diikuti perkembangannya sampai mereka mencapai usia 6 tahun. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa susu formula hidrolisa parsial dengan 100% protein whey, efektif untuk mengurangi risiko dermatitis atopik hingga anak berusia 6 tahun.
No comments:
Post a Comment